MEDAN — Putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Medan kepada terdakwa debitur Selamet membuka babak baru dalam perkara dugaan korupsi kredit macet di PT Bank Sumut Cabang Sei Rampah.
Namun, dua kreditur bank yang memberi fasilitas pinjaman justru masih dibayangi ancaman hukuman penjara.
Tengku Ade Maulanza dan Zainur Rusdi, masing-masing Pimpinan Cabang dan Pimpinan Seksi Pemasaran Bank Sumut Sei Rampah, hingga kini masih menjalani proses hukum di Pengadilan Tipikor Medan.
Keduanya dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejari Serdang Bedagai (Sergai) dalam kasus yang sama.
Ketua Umum Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi (PERMAK), Asril Hasibuan, menyebut penanganan perkara ini janggal dan terkesan dipaksakan.
“Ini bukan tindak pidana korupsi, ini perkara perdata. Tapi dipelintir seolah-olah ada niat jahat,” ujarnya kepada media ini, Kamis, 24 Juli 2025.
Asril menyatakan vonis bebas terhadap Selamet yang sebelumnya divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Medan, seharusnya menjadi dasar kuat untuk membebaskan kedua kreditur.
“Logikanya, jika debitur tidak bersalah, maka pemberi kredit pun tidak bisa dipidana,” ujarnya.
Vonis bebas untuk Selamet dikeluarkan Pengadilan Tinggi Medan lewat putusan Nomor 22/PID.SUS-TPK/2025/PT.MDN, tertanggal 14 Juli 2025.
Majelis hakim menyatakan tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum dalam proses pencairan kredit senilai lebih dari Rp1,3 miliar tersebut.
PERMAK meminta Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan turun tangan. Menurut Asril, kasus ini mencoreng profesionalisme Kejari Sergai dan mengancam kredibilitas institusi peradilan. “Ini harus menjadi perhatian bersama agar hukum tidak dijadikan alat kriminalisasi dalam sektor perbankan,” katanya.
Dugaan bahwa perkara ini dibawa ke ranah pidana tanpa pembuktian mendalam pun menguat. Dalam dokumen perkara, tidak ada indikasi bahwa kredit tersebut disalurkan tanpa prosedur. Selamet selaku debitur justru dinilai lalai dalam memenuhi kewajiban angsuran.
Kini, sorotan tajam publik mengarah ke majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan. Keputusan mereka terhadap dua terdakwa kreditur dinilai akan menjadi tolok ukur konsistensi penegakan hukum.
“Kalau hakim tetap memaksakan vonis, itu artinya kita mundur jauh dari keadilan,” tegas Asril.(arif)


































